Penjaga Pintu Stadion . . . Profesionalitas Yang Dipertanyakan

DSC04554

Menyaksikan laga sepak bola di stadion punya aura yang beda dibanding hanya menonton lewat televisi. Merasakan sendiri  fanatisme suporter klub,  dentuman alat-alat perkusi sembari meneriakkan yel –yel membuat suasana stadion menjadi semakin bergelora, semarak, dan penuh semangat. Apalagi yang namanya laga big match. Tak heran jika ada pertandingan antar dua klub bergengsi dengan rivalitas tinggi, tiket masuk stadion pasti cepat habis. Yang ada malah tiket VVIP yang masih tersisa, dengan harga selangit tentunya. Nah kalau sudah kehabisan tiket, mau bagaimana lagi.

Hasrat ingin menyaksikan langsung pertandingan di dalam stadion rupanya membuat sebagian suporter tidak menyerah meski kehabisan tiket tribun ekonomi. Seperti yang saya temukan beberaa waktu lalu saat Arema Indonesia menjamu Sriwijaya FC di Stadion Kanjuruhan, Malang. Meski pertandingan sudah berjalan beberapa menit, beberapa suporter sibuk ber- negosiasi dengan penjaga pintu masuk stadion. Waktu itu beberapa suporter berulang kali menawarkan harga yang lebih tinggi kepada penjaga pintu masuk Tiket ekonomi resminya dijual 25ribu, beberapa orang menawarkan harga 30 ribu untuk bisa masuk ke dalam stadion. Tapi penjaga pintu tersebut tetap pada pendirian, tidak mempersilahkan orang untuk masuk kedalam.

DSC04556

Para suporter yang berkerumun, sebagian dari mereka tengah bernego dengan penjaga pintu masuk stadion.

Setelah melihat petugas yang berpendirian kuat untuk tidak memasukkan penonton ke dalam stadion tersebut, saya beralih menuju pintu stadion lain yang juga dijaga petugas. Saya menemukan beberapa suporter yang melakukan nego dengan petugas pintu masuk, sama seperti di pintu sebelumnya. Para suporter yang tetap bersikukuh masuk membuat saya salut akan ke-ngeyelan mereka. Menawarkan pilihan ke petugas pintu masuk untuk menerima 30 ribu, dikalikan jumlah suporter yang ingin masuk kedalam . . . begitulah opsi yang ditawarkan beberapa orang ke penjaga pintu masuk. Tidak beberapa lama kemudian, penjaga pintu tersebut membolehkan beberapa suporter untuk masuk. Saya tercengang dengan apa yang saya lihat ini . Mereka masuk gak pake bayar.

Usut punya usut, setelah diberitahu teman, saya mulai paham mengapa para suporter tersebut bisa masuk dengan tidak membayar tiket terlebih dahulu. Petugas yang mempersilahkan masuk beberapa orang ini sebelumnya sudah menghitung jumlah penonton yang ia ‘loloskan’, kemudian transaksi berjalan setelah beberapa orang tersebut berada di dalam stadion. Dengan iming-iming 30 ribu per orang tadi. Jika nego dilakukan diluar pintu masuk maka akan terlihat oleh umum.

DSC04557

Sebagian orang diperbolehkan masuk. lho kok. . .

Cerdik juga orang-orang itu mengakali petugas disini, gumam saya. Tapi alangkah baiknya beberapa penonton tersebut harus fair jika tidak bisa masuk kedalam. Begitu juga dengan petugas pintu masuk, profesionalitas itu mahal harganya, tidak bisa diganti dengan uang 30 ribu. Dari semua petugas panitia penyelenggara pertandingan di tingkat atas sampai bawah, saya percaya tidak semua orang mau direndahkan seperti itu.

Berangkat dari realita ini, bolehkah saya menyebutnya sebagai kasus mafia bola ? meski tingkatannya rendah dan terdengar sepele. Tapi berawal dari sini terbukti ada ketidak beresan dari industri sepak bola di negara kita. Ketidak beresan yang sudah mengakar, dan menuntut keprofesionalitas semua orang yang terlibat.

(#75)

Posted on 06.03.2013, in Football, My Stories and tagged , , , , . Bookmark the permalink. 13 Comments.

  1. semoga makin profesional

  2. budaya seperti ini sepertinya susah dihilangkan untuk beberapa tahun ke depan..

  3. Kembali ke urusan perut…hal ini mmg memicu krearifitas dan kepintaran yg kadang bernilai negatif..

  4. begitulah kenyataanya 😀

  5. padahal laga home arema selalu penuh ya sam? kok bisa nunggak gaji pemain juga ya musim lalu (padahal sponsor arema tidak pernah absen dari baju maupun board pinggir lapangan), lantas lari kemana uang2 tersebut? 😀

    #hanyacurhatlho 🙂

    • Mafia bola berperan disini. . . sebagian orang mengatakan “antek-antek bakri” yang jadi dalang dibalik semuanya.
      Apalagi data anggaran tidak transparan, jadi tidak semua orang tahu larinya uang-uang itu kemana.

      Lagipula (entah benar atau tidak), Umumnya stasiun tivi yg membayar ke penyelenggara liga dan setiap klub dapat jatahnya. tapi kenyataanya ISL harus membayar hak siar ke ANTV dan tvOne
      (imho, cmiiw) 😉

  6. Haa,mafia sepak bola..

  7. jangankan liga lokal, lha wong pas piala asia beberapa tahun lalu aja amburadul gitu pengelolaan tiket n pintu masuknya 😦

Leave a comment