Cerita Tilang : Gara-Gara Plat Nomer Depan dan Proses Persidangan
Posted by Aragani

Segitu mah udah gak jaman, sekarang 50 ribu
Minggu yang berganti Senin, rutinintas dimulai lagi. Jalanan yang semula lenggang menjadi ramai. Di beberapa titik telah berjaga ‘pasukan’ pengatur lalu lintas. Di beberapa lokasi ‘strategis’, beberapa polisi mengadakan pemantauan di jam-jam sibuk. Mengawasi dan mendatangi sepeda motor yang kelengkapannya kurang. Biasanya mereka bertanya singkat, “mana spion kirinya ? kenapa lampu depan tidak dinyalakan ? “ belum si pengendara menjawab dengan lengkap, petugas langsung main ambil kunci motor. Dan cerita pun dimulai.
Di jalan menuju ke kampus saya, razia kelengkapan sepeda motor oleh polisi seperti itu sepertinya selalu mendapat mangsa. Korban bervariasi mulai karyawan , pekerja, anak sekolah, dan ini yang paling sering kena, mahasiswa!. Saya sering mengamati teman-teman yang kena razia, rata-rata wajah mereka spontan berubah pucat saat berhadapan dengan “yang punya jalan” . Pemandangan seperti itu hampir setiap hari saya temui saat hendak masuk kampus dipagi hari. Oiya, tidak seperti polisi kebanyakan, polisi yang menilang saya tidak memberi opsi ‘pertolongan’, tapi langsung mengeluarkan surat tilang dan menyuruh menandatanganinya, tanpa memberikan penawaran “mau nitip atau mau sidang ? “.sebagaimana polisi biasanya.

Persimpangan jalan Soekarno-Hatta (arah UB) yang tiap hari selalu ada pemeriksaan, terutama di pagi dan sore hari.
Tahun kemarin saya sempat kena tilang disana. Sedikit flashback, polisi menghampiri, langsung cabut kunci, dan menyuruh saya untuk menepikan motor. Pertama saya bingung apa kesalahannya, eh ternyata plat depan motor bukan yang standart (garis yang biasanya warna putih, di plat nomer saya warna merah). Herannya selama hampir lima tahun saya bawa motor itu dari jaman sekolah dulu, belum pernah ada polisi saat razia bahas plat nomer depan yang tidak standart itu, kenapa baru diungkit sekarang . Pertanyaan itu muncul terus-terusan. Seperti yang saya singgung diawal, polisi yang menangani saya waktu itu terkesan professional. Beliau langsung memberi tahu kesalahan saya, serta menunjukkan undang-undang serta pasalnya. Sidang dimulai 2 minggu lagi di pengadilan negeri. Mengingat saya bukan warga asli daerah sana, saya tanyakan dimana letak pengadilan tersebut. Polisi yang berperawakan tegap itu mengatakan letaknya di daerah Arjosari. Meski saya belum paham disebelah mananya, saya mengiyakan saja STNK disita dan disuruh ambil di persidangan 2 minggu lagi, “ Lho pak ini saya kalau mau keluar kampus gak nunjukin STNK gimana?! “, “Bisa pakai surat ini (nunjuk surat tilang). “ Ya malu lah!”, batinku, tapi di pinggir jalan itu saya gak mau lama-lama. Selain malu dilihatin orang, waktu itu ada kuliah pagi dan harus dikejar agar diperbolehkan masuk kelas.
Untung saja saya masih bisa mengikuti kelas pagi itu. Tapi pikiran masih terbayang kejadian tadi, baru kali ini ada polisi yang langsung tanpa basa basi bilang “ silahkan mengikuti sidang”. Saya berkeyakinan, ah itu cuma kebetulan saja ditindaklanjuti polisi yang taat hukum. Hari-hari yang saya lalui selama 2 minggu masa penantian sidang, bawa motor keluar kampus pakai secarik kertas dari pihak kampus yang biasa ditebus dengan fotokopi Kartu Tanda Mahasiswa (KTM). Waktu senggang saya sempatkan juga mencari lokasi pengadilan negeri bersangkutan. Petunjuk alamat yang tertera di surat tilang tak cukup membantu. Akhirnya saya tahu lokasinya setelah tanya langsung ke warga sekitar.
Dua minggu kemudian, Jumat sekitar setengah 11 pagi, tiba saatnya sidang di Pengadilan Negeri Malang. Dari luar suasana lenggang, tapi begitu masuk ke jalan aspal kecil yang mengarah ke tempat parkir motor, suasana menjadi lebih ramai. Disana ternyata banyak sekali yang ikut sidang, dari masyarakat biasa, anak kuliahan, sampai pelajar pun juga ada. Saya diberitahu tukang parkir, kemana arah pertama yang harus saya tuju. Pertama mengecek nama (nama di STNK) yang ditempel di jendela. Tujuannya memastikan nama kita tertera serta memastikan benar tidaknya jadwal sidang kita di hari itu. Cukup lama saya mencari satu diantara banyak nama yang terpampang. Cara pencarian nama dilihat dari kode yang tertera di surat tilang. ( Letak kode berada di sebelah kanan atas surat tilang) . Setelah lama mencari akhirnya ketemu juga. Setelah itu saya menyerahkan surat tilang ke petugas bersangkutan, sembari menunggu panggilan untuk sidang. Tidak menunggu lama nama saya dipanggil. Saya beserta tiga orang lain duduk di kursi membentuk satu shaf, tepat di depan hakim.

Masyarakat tengah mencari namanya di daftar, banyak yang panik kenapa namanya tidak ada, padahal ada, cuma kurang teliti.
Baru kali itu saya merasakan kursi pengadilan, apalagi berhadapan langsung dengan pemimpin sidang. Biasanya cumu lihat di tivi, sekarang bisa merasakan sendiri. Meski masih kikuk, tapi berusaha tidak tegang. Hakim memanggil nama masing-masing, dan langsung membacakan denda yang diterima. Tidak sampai setengah jam, kami berempat sudah mendapat giliran masing-masing untuk dibacakan dendanya. Cepat sekali, kirain masih ada basa-basinya. Hakim cuma memanggil nama, membacakan denda, kemudian tiap ‘terdakwa’ diberi kertas (mungkin tanda sudah mengikuti sidang) kemudian dipersilahkan beranjak dari kursi untuk lanjut ke loket selanjutnya. Saat membacakan denda , hakim menjelaskan saya kena denda 55 ribu. Dengan rincian 54 ribu untuk denda + seribu rupiah biaya pengadilan. Kemudian saya pergi ke loket yang tugasnya memberikan kertas tanda sudah sidang (kalau tidak salah seperti itu), kemudian saya dan rekan-rekan lain mesti menunggu di loket terakhir, loket pembayaran denda dan pengembalian STNK / loket adminstrasi.
Menunggu agak lama kemudian saya dipanggil dan diwajibkan membayar sesuai yang dikatakan hakim tadi. Dan akhirnya setelah menunggu 2 minggu lamanya, STNK alhamdulialh sudah dalam genggaman lagi. Saya tidak langsung pulang waktu itu, masih merapikan kertas STNK sembari mengobrol dengan orang-orang lain yang juga sudah membayar denda. Saya berbincang dengan seorang bapak paruh baya dan seorang mas-mas yang umunya sekitar 3 tahun lebih tua dari saya. Dari penuturan mereka, denda tidak memakai helm yakni 46 ribu, dengan rincian 45 ribu biaya denda + seribu rupiah biaya pengadilan. Kemudian menerobos lampu merah didenda 100 ribu, namun bapak yang kena tilang lampu merah itu tidak menjelaskan rinciannya.
Yah begitulah pengalaman saya pertama kali ikut sidang, yang pasti menunggu 2 minggu itu tidak tenang. Tapi waktu selama itu terbayar dengan proses di pengadilan yang cepat, dengan resiko uang ludes diembat 😕 . Semoga dengan tulisan ini teman-teman yang lain punya gambaran apabila mungkin ada yang tengah menunggu waktu sidang. Dibalik kejengkelan karena uang melayang, terselip kebangggaan (walau kecil), setidaknya saya membayar secara legal dan uang masuk kas negara.
(bfa)
Posted on 30.09.2013, in My Stories and tagged proses sidang tilang, Tilang. Bookmark the permalink. 8 Comments.
Kalo ane sih dah kena tilang 5x-an lah…tp ya itu 4x ditawari mau sidang apa titip aja…(Akhirnya 20rb-an) minta diselipin di STNK.
Sekali dikasih surat tilang, tp ditebus di Polresta (blm sampe sidang) 25rb melayang…
Ya paling gak , gak sampai sidang lah, ampun lama nunggunya 😉
banyak oknum
http://sarikurnia980.wordpress.com/2013/09/30/admin-ahm-komplain/
wah wah..
http://setia1heri.com/2013/10/02/jenis-velg-depan-belakang-motor-harus-sama/
nice share…
Saya pernah ditilang gara2 kagak ada plat sama sekali. motor baru.
Alhamdulilah dilepasin.
Polisi nya kasian kayaknya.
Pingback: Berawal dari Kios Kecil | Aragani Personal Blog
Pingback: Belajar dari Tilang . . . Dilema Regulasi Ukuran Spion Non Standart, Polantas Gak Kompak | Aragani Personal Blog